Jimly: Walaupun Berbeda Pilihan Tetapi Persatuan Yang Utama
Jimly: Walaupun Berbeda Pilihan Tetapi Persatuan Yang Utama
Mantan
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yakni Jimly Asshiddiqie mengimbau kepada
masyarakat agar tetap menjaga persatuan. Masyarakat jangan sampai
terpecah belah hanya karena perbedaan pilihan pada Pemilihan Legislatif
(Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang.
“Indonesia ini bisa dibilang negara paling plural dan kita harus saling mengingatkan untuk bersatu.
Dalam berdemokrasi, intinya kita harus saling menghormati. Jangan terpecah belah hanya karena beda pilihan politik,” ujar Jimly di kampus UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, Senin (22/10/2018).
Dalam kesempatan itu Jimly mengingatkan bahwa pentingnya mengutamakan persatuan meskipun ada perbedaan pilihan dalam politik dan pemimpin (capres). “Karena semua calon pemimpin bangsa yang berkompetisi dalam politik adalah saudara dalam satu Tanah Air,” pungkasnya.
Dia melihat bahwa situasi politik saat ini kian memanas akibat aksi yang saling hujat antarpendukung dua pasangan capres-cawapres di media sosial (medsos). Karenanya, dia meminta masyarakat, khususnya mahasiswa dan kaum milenial, untuk lebih bijak dalam menggunakan medsos.
“Kelihatannya akhir-akhir ini medsos digunakan untuk menghina dan menjatuhkan lawan politik, itu kebiasaan tidak baik. Kalau ada orang yang kaya gitu, berarti kampungan. Kita mahasiswa milenial jangan kampungan. Kita harus saling menghormati antar perbedaan,” tegasnya.
Mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum itu juga mengajak mahasiswa dan dosen di bidang hukum untuk memaksimalkan tradisi budaya bangsa. Karena bahasa dalam hukum banyak yang diadopsi dari negara luar.
“Konstitusi semua negara sekarang mengalami nyontek-menyontek dengan negara lain. Kita ini menyontek dari mana-mana jadi unsur khas dari masing-masing bangsa sangat sedikit,” katanya.
Dia mencontohkan berbagai penggunaan kata yang digunakan lembaga negara di Indonesia, seperti Mahkamah Konstitusi (MK), banyak yang berasal dari Austria. Begitupun dengan salah satu pasal hak asasi manusia (HAM), banyak diadopsi dari dari instrumen human right luar negeri.
“Karena itu ada problem kita ke depan. Kita harus juga mengangkat tradisi lokal, tradisi budaya kita. Ini kalau (mahasiswa) buat skripsi carilah itu tradisi adat istiadat dari kampungmu masing-masing,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher Parasong yan juga hadir dalam diskusi publik tersebut menyatakan, yang paling pokok untuk menjaga keutuhan bangsa tentunya lewat hukum. Dia secara khusus menyoroti fenomena saat ini dimana ada pergeseran nilai demokrasi akibat adanya kesenjangan dalam hukum.
“Secara faktual menunjukkan bahwa penegakan hukum saat ini tebang pilih. Banyak kasus besar terungkap di permukaan tapi tidak terungkap sampai pengadilan,” ucapnya.
Dia menilai, peran penegak hukum tidak maksimal karena adanya kekuasaan yang nampak dominan. “Di sini hukum dibangun tanpa nilai, alhasil tidak adanya kepastian hukum,” katanya.
Menurut dia, kepastian hukum bisa berjalan berdasar pada 5 prinsip yaitu dasar UU hukum yang jelas, pelaksanaan prosesnya benar, lembaga yang menjalankan prosesnya benar, serta tempat dan waktunya yang benar.
“Kalau keliman prinsip itu tidak dijalankan kita tidak akan pernah ada penegakan hukum yang berarti,” pungkasnya.
“Indonesia ini bisa dibilang negara paling plural dan kita harus saling mengingatkan untuk bersatu.
Dalam berdemokrasi, intinya kita harus saling menghormati. Jangan terpecah belah hanya karena beda pilihan politik,” ujar Jimly di kampus UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, Senin (22/10/2018).
Dalam kesempatan itu Jimly mengingatkan bahwa pentingnya mengutamakan persatuan meskipun ada perbedaan pilihan dalam politik dan pemimpin (capres). “Karena semua calon pemimpin bangsa yang berkompetisi dalam politik adalah saudara dalam satu Tanah Air,” pungkasnya.
Dia melihat bahwa situasi politik saat ini kian memanas akibat aksi yang saling hujat antarpendukung dua pasangan capres-cawapres di media sosial (medsos). Karenanya, dia meminta masyarakat, khususnya mahasiswa dan kaum milenial, untuk lebih bijak dalam menggunakan medsos.
“Kelihatannya akhir-akhir ini medsos digunakan untuk menghina dan menjatuhkan lawan politik, itu kebiasaan tidak baik. Kalau ada orang yang kaya gitu, berarti kampungan. Kita mahasiswa milenial jangan kampungan. Kita harus saling menghormati antar perbedaan,” tegasnya.
Mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum itu juga mengajak mahasiswa dan dosen di bidang hukum untuk memaksimalkan tradisi budaya bangsa. Karena bahasa dalam hukum banyak yang diadopsi dari negara luar.
“Konstitusi semua negara sekarang mengalami nyontek-menyontek dengan negara lain. Kita ini menyontek dari mana-mana jadi unsur khas dari masing-masing bangsa sangat sedikit,” katanya.
Dia mencontohkan berbagai penggunaan kata yang digunakan lembaga negara di Indonesia, seperti Mahkamah Konstitusi (MK), banyak yang berasal dari Austria. Begitupun dengan salah satu pasal hak asasi manusia (HAM), banyak diadopsi dari dari instrumen human right luar negeri.
“Karena itu ada problem kita ke depan. Kita harus juga mengangkat tradisi lokal, tradisi budaya kita. Ini kalau (mahasiswa) buat skripsi carilah itu tradisi adat istiadat dari kampungmu masing-masing,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher Parasong yan juga hadir dalam diskusi publik tersebut menyatakan, yang paling pokok untuk menjaga keutuhan bangsa tentunya lewat hukum. Dia secara khusus menyoroti fenomena saat ini dimana ada pergeseran nilai demokrasi akibat adanya kesenjangan dalam hukum.
“Secara faktual menunjukkan bahwa penegakan hukum saat ini tebang pilih. Banyak kasus besar terungkap di permukaan tapi tidak terungkap sampai pengadilan,” ucapnya.
Dia menilai, peran penegak hukum tidak maksimal karena adanya kekuasaan yang nampak dominan. “Di sini hukum dibangun tanpa nilai, alhasil tidak adanya kepastian hukum,” katanya.
Menurut dia, kepastian hukum bisa berjalan berdasar pada 5 prinsip yaitu dasar UU hukum yang jelas, pelaksanaan prosesnya benar, lembaga yang menjalankan prosesnya benar, serta tempat dan waktunya yang benar.
“Kalau keliman prinsip itu tidak dijalankan kita tidak akan pernah ada penegakan hukum yang berarti,” pungkasnya.
Comments
Post a Comment